Malaysia dikenal secara global sebagai negara penyerap karbon (carbon sink), dengan hutan yang luas, garis pantai yang membentang, dan ekosistem yang beragam. Negara ini termasuk dalam daftar 17 negara megabiodiversitas di dunia, rumah bagi sebagian besar spesies tumbuhan dan hewan. Dari total luas 330.803 km², sekitar 58,2% wilayah Malaysia masih berupa hutan lebat, sementara 24% digunakan sebagai lahan pertanian. Namun, kekayaan alam ini kini menghadapi tekanan besar akibat urbanisasi dan krisis iklim yang semakin parah. Seperti banyak negara berkembang lainnya, Malaysia terus menyeimbangkan antara manfaat industrialisasi dan risiko degradasi sumber daya alam. Dengan target ambisius untuk mencapai net zero pada 2050, Malaysia berkomitmen mengurangi intensitas karbon sebesar 45% pada 2030 dibandingkan tingkat tahun 2005 berdasarkan strategi tiga langkah yang berfokus pada solusi berbasis alam (Nature-Based Solutions/NBS).

Perlindungan Hutan

Menurut laporan Securing Our Future: Net Zero Pathways for Malaysia dari BCG dan WWF, Departemen Kehutanan Semenanjung (FDPM) membagi kawasan hutan menjadi tiga kategori, dengan perlindungan yang berbeda untuk masing-masing. Permanent Forest Estates (PFE) adalah kawasan yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk produksi kayu, dengan kewajiban untuk melakukan penanaman ulang. Stateland Forest adalah kawasan yang disimpan untuk jangka panjang dan dapat dialihkan ke skema PFE jika dibutuhkan, tetapi juga berpotensi dikembangkan di masa depan. Sementara Totally Protected Areas (TPA) mencakup taman nasional, kawasan konservasi satwa liar, dan cagar alam.

Malaysia telah berkomitmen menjaga tutupan hutannya tetap di atas 50% sebagai bagian dari komitmen lingkungan global. Kebijakan di tingkat negara bagian turut memperkuat upaya ini, terutama dalam perlindungan keanekaragaman hayati dan cadangan hutan. Beberapa kawasan Stateland Forest juga tengah dipertimbangkan untuk dimasukkan ke dalam skema pasar karbon sukarela sebagai cara untuk membiayai konservasi dan mengurangi beban fiskal pemerintah. Pemerintah juga mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui program percontohan seperti proyek Sabah dan Kuamut, yang menggabungkan praktik pertanian berkelanjutan dengan upaya reforestasi.

Kesehatan Tanah

Departemen Kehutanan menekankan pentingnya menjaga kesehatan tanah di seluruh kawasan hutan. Meski pohon dan vegetasi penting untuk penyerapan karbon, aktor utama yang sering terabaikan adalah tanah. Menurut Ecological Society of America, lebih dari 75% karbon yang terserap saat fotosintesis disimpan di dalam tanah. Karena itu, regulasi yang ketat terhadap industri pencemar sangat penting agar tanah tidak terus terkontaminasi limbah atau bahan kimia beracun.

Malaysia kini berupaya memperluas penggunaan tanaman penutup (cover crops) dan mendorong program “4R” right source, right rate, right time, right place dalam pemupukan. Tanaman penutup bekerja secara alami untuk meningkatkan kesuburan tanah melalui keragaman hayati. Sementara metode “4R” membantu mengurangi input nitrogen ke tanah, yang jika berlebihan dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca.

Pertanian Berkelanjutan

Sektor pertanian Malaysia menyumbang sekitar 11 juta ton CO₂e per tahun. Untuk mengurangi emisi ini, Malaysia mengedepankan pendekatan agroekologi gabungan prinsip sosial dan ekologi dalam sistem pertanian berkelanjutan. Pendekatan ini tak hanya meningkatkan produktivitas, tapi juga memberdayakan petani dan memberi dampak sosial yang positif. Salah satu metodenya adalah agroforestri, yaitu menanam pohon dan semak di lahan pertanian untuk meningkatkan penyerapan karbon, menjaga kesehatan tanah, dan meningkatkan cadangan air.

Program seperti Semi-Aerobic Rice Intensification (SARI) juga mulai diterapkan, dengan teknik pengairan yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Alih-alih membanjiri sawah terus-menerus, lahan padi dikeringkan secara berkala. Ini tak hanya hemat air tapi juga mengurangi emisi metana yang berasal dari kondisi anaerob di sawah konvensional.

Insentif Ekonomi Hijau

Tantangan terbesar dari target net zero Malaysia adalah menjadikannya layak secara ekonomi. Untuk itu, sejak 2014 pemerintah memperkenalkan insentif pajak seperti Green Investment Tax Allowances (GITA) dan Green Income Tax Incentives (GITE) untuk mendorong adopsi teknologi dan praktik ramah lingkungan, khususnya di sektor pertanian dan energi. Malaysia ingin menjadi pemimpin dalam teknologi dan aksi iklim, memastikan bahwa kekayaan alamnya dilindungi demi masa depan.

Untuk mengenal lebih lanjut tentang kebijakan iklim Malaysia, nantikan sesi AtmosTalk dari Fairatmos dan baca artikel-artikel menarik kami lainnya di laman Insights.

---

Tentang Fairatmos

Fairatmos adalah perusahaan teknologi iklim yang membantu Anda menemukan, mengembangkan, dan menghadirkan proyek karbon offset berkualitas tinggi dalam skala besar. Kami percaya pada kekuatan alam untuk memulihkan dan menyerap emisi gas rumah kaca dari atmosfer, didukung oleh teknologi.

Teknologi kami memanfaatkan citra satelit dan remote sensing untuk membantu komunitas dan perusahaan menemukan potensi kredit karbon hutan mereka mengubah pendekatan dari menebang hutan menjadi menjaga dan merehabilitasi hutan secara berkelanjutan.

Dengan teknologi pemantauan berpresisi tinggi, kami membantu memastikan integritas dan performa proyek karbon, termasuk dampak sosial dan pelestarian keanekaragaman hayati. Dengan keyakinan terhadap integritas proyek, kami menghubungkan perusahaan-perusahaan yang ingin melakukan offset karbon dengan proyek-proyek berkualitas tinggi.

Saat ini, kami telah bekerja sama dengan lebih dari 200 pemilik lahan, memproses lebih dari 18 juta hektar potensi karbon hutan di Asia Tenggara untuk menghadirkan solusi yang inklusif.